Senin, 17 Januari 2011

Jajanan Yang Mengancam Masa Depan

Berburu jajanan saat istirahat atau pulang sekolah merupakan kegiatan yang sangat disukai oleh anak-anak yang masih duduk di bangku sekolah. Banyak jajanan yang menggoda, seperti es lilin, gulali, agar-agar, harumanis dan sebagainya dengan bentuk dan warna yang menarik. Anak-anak yang masih polos itu tidak tahu apa yang mereka makan dan bagaimana proses pembuatannya. Guru di sekolah pun tidak bisa mengawasi apa yang mereka makan.
Penampilan makanan, termasuk warnanya, sangat berpengaruh untuk menggugah selera. Penambahan zat pewarna pada makanan bertujuan agar makanan lebih menarik. Penggunaan pewarna makanan alami sudah digunakan sejak dulu. Banyak contohnya seperti kunyit untuk warna kuning, suji untuk warna hijau dan lain sebagainya.
Namun pewarna alami ini ketersediaannya sulit didapat dan merupakan pewarna yang tidak homogen sehingga hasilnya terlihat pucat. Seiring perkembangan zaman dibuatlah pewarna sintetis yang dapat digunakan dalam jumlah sedikit tapi menghasilkan warna yang cerah.
Masalahnya terdapat pada layak tidaknya pewarna itu pada makanan atau jajanan. Hingga saat ini masih ada orangtua yang belum menyadari bahwa jajanan yang ada di sekolah dapat menjadi ancaman keselamatan kesehatan anaknya.
Masalah keracunan makanan tampaknya sudah langganan di Indonesia. Hampir setiap tahun kasus keracunan selalu ada dan angka kejadiannya cukup tinggi. Dan hampir seluruhnya diakibatkan karena zat-zat tambahan pada makanan dan pengolahan makanan yang tidak higienis. Parahnya makanan seperti ini banyak dijual di kantin sekolah.
Sebagian pedagang yang ditemui berdalih bahwa pewarna tekstil yang mereka gunakan itu tidak berbahaya makanya mereka berani menambahkan pada jajanan mereka. Selain dengan pewarna tekstil, mereka juga tidak peduli dengan kebersihan dan proses pengolahan yang tidak higienis.
Selain itu ada motif ekonomi, mereka ingin mengeluarkan modal yang kecil untuk keuntungan yang besar. Sebab dibandingkan dengan bahan pewarna khusus makanan, bahan pewarna tekstil harganya lebih murah.
“Jika menggunakan bahan pewarna khusus makanan mengeluarakan Rp. 90.000,-/kg sementara untuk pewarna tekstil hanya mengeluarkan Rp. 70.000,-/kg,” aku Joko (nama samara) seorang penjual harumanis ditemui di rumahnya hari minggu saat ia menyiapkan bahan-bahan yang akan ia gunakan untuk membuat harumanis.
Sangat ekonomis memang jika menggunakan pewarna tekstil. Selain harganya yang murah, penggunaan pewarna tekstil hanya seperempat dari penggunaan pewarna makanan yang sesungguhnya. Dengan begitu mereka akan mendapat keuntungan yang berlipat.
Dengan menggunakan alat sederhana yang dibuat olehnya sendiri dari kayu. Pada tiga sisinya terdapat semacam pasak tiga buah yang digunakan untuk mengolah harumanis dengan cara menarik-narik adonan sehingga adonan harumanis membentuk seperti kapas.
Pewarna yang mereka gunakan mereka akui adalah pewarna tekstil yang banyak dijual di pasaran, yakni Rhodamin B. Selain menggunakan Rhodamin B Joko dan rekannya sesama pengolah harumanis juga menambahkan gula biang guna menguatkan rasa manis pada harumanis buatan mereka.
Rhodamin B adalah pewarna sintetis yang digunakan pada industri tekstil dan kertas. Rhodamin B berbentuk serbuk kristal merah keunguan dan dalam larutan akan berwarna merah terang berpendar.
Ciri - ciri pangan mengandung Rhodamin B, yakni berwarna merah menyala, bila produk pangan dalam bentuk larutan/minuman warna merah berpendar atau berflueresensi; dalam pengelolaan tahan terhadap pemanasan (direbus/digoreng warna tidak pudar), banyak memberikan titik-titik warna karena tidak homogen (misalnya pada kerupuk, es puter).
Menurut peraturan pemerintah RI NO. 28 tahun 2004, Rhodamin B adalah zat pewarna yang tidak boleh digunakan pada makanan. Dampak penggunaan Rhodamin B pada makanan adalah terjadinya iritasi saluran pernafasan, iritasi pada saluran pencernaan, iritasi kulit, iritasi mata, keracunan atau gangguan hati.
"Bila terus mengonsumsi Rhodamin B bisa menyebabkan gangguan pada fungsi hati, bahkan kanker hati. Sementara jika mengonsumsi makanan yang mengandung Rhodamin B, dalam tubuh akan terjadi penumpukan lemak, sehingga lama-kelamaan jumlahnya terus bertambah," tutur seorang ahli gizi dr. Damayanti.
Sementara gula biang berpotensi bisa mengakibatkan penyakit kanker kandung kemih pada manusia. Efek dari rhodamin B ataupun gula biang ini baru akan kelihatan setelah puluhan tahun.

Keracunan

Berdasarakan informasi yang diperoleh dari dokter bahwa suatu penelitian mengenai keracunan yang terjadi menyatakan bahwa tingkat SD menempati ranking pertama dalam kasus keracunan yang berasal dari makanan. Dari 3.239 kasus yang terjadi, 26,09% atau sekitar 845 kasus berasal dari sekolah. Dari jumlah kasus tersebut, didominasi tingkat SD yakni 78,57% kasus dan 3,57%-nya di tingkat taman kanak-kanak. Zat pewarna, hingga pemutih, penyedap rasa, dan pengawet menjadi asal mula keracunan tersebut.
Apakah masalah ini menjadi tanggung jawab orangtua sepenuhnya? Tentu saja tidak, orang tua memang berperan dalam menjaga kesehatan anak-anaknya. Tapi ketika sudah memasuki lingkungan sekolah guru lah yang berperan dalam memperhatikan makanan yang dikonsumsi oleh murid-muridnya.
Masyarakat, orang tua dan guru seharusnya lebih waspada terhadap ancaman makanan yang berbahaya. Dengan cara memberi pengertian kepada anak atau murid mereka mengenai makanan yang akan mereka konsumsi. Beri pengertian bahwa mereka tidak seharusnya memberi makanan dengan warna yang mencolok.
Akan lebih baik jika orangtua tidak lagi memberikan bekal materi kepada anaknya saat bersekolah. Berikan juga bekal makanan dari rumah. Karena lebih baik mencegah daripada harus mengobati. Jika semua orang paham akan hal seperti ini bukankah anak-anak kita nantinya akan terbebas dari bahaya jajanan yang dapat mengancam kesehatan di masa yang akan datang.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar